Suatu Hari…
Seorang pemuda menatap kosong dan
hampa masa depannya. Umurnya yang esok sudah genap seperempat abad. Namun
sesuatu yang mengganjal dalam ulu hatinya beberapa bulan ini. Ya, apalagi kalau
bukan kehadiran Sang bidadari pujaan hati yang kan menjadi pendamping hidupnya,
yang kan menjaga kehormatan dirinya, menggenapkan setengah Dinnya (agamanya),
menyuburkan semangat juangnya, dan melahirkan jundi-jundi yang menyejukkan mata
dan penawar dahaga cintanya.
Terlebih, Sang Ibu sudah tak sadar
tak sabar menimang cucu, Tak sampai disana, Berbagai tekanan saat berjumpa
dengan sahabat-sahabat sebayanya yang mayoritas sudah menikah dan mempunyai
anak seakan menjadi-jadi. Kalimat klasik
yang mereka tanyakan, “Gimana kabarnya Sahabatku, kapan menikah?”
“Huh… Itu lagi.” Jawabnya lihir.
Bukan…… Bukan karena ia tak mau,
bukan pula karena tak mampu. Telah ia rancang persiapan menuju mahligai rumah
tangga yang berkah sejak 5 tahun yangg lalu. Tepatnya saat masih di tingkat 3
kuliahnya.
Ia banyak bekerja keras dan
ikhtiar menjemput rizki yang halal dan komitmen menyisihkan untuk hal yang satu
ini. Namun, masih ada sesuatu yang mengganjal saat ia mencoba untuk yang
kesekian kali ta’aruf (mengenal dengan cara syar’i) dengan seorang akhwat, baik
yang direkomendasikan oleh Murobbinya (Mentor), maupun dari kabar burung dari
beberapa sahabatnya. Alasannya, setiap kali memberanikan untuk ta’aruf, ada
ketakutan dalam diri “Jangan-jangan ada yang lebih baik darinya. Daripada
tergesa-gesa, lebih baik nanti saja lah.”
“Astaghfirullah…..”
Ia usap muka dan segera mengambil
air wudhu. Sholat istikhoroh dan memohon kepada Allah untuk ditunjukkan
pendamping terbaik yang akan mendampinginya di belantara dunia sampai menapaki
Jannah yang dijanjikan-Nya bagi orang yang menjaga kehormatan dirinya dengan
keimanan.
Dalam sujud terakhir, tak terasa
iar mata pun berlinang, ia sangat takut bahwa apa yang dikhawatirkan selama ini
adalah tipu daya syaitan yang menghalanginya untuk beribadah.
Do’a-do’a pun dipanjatkan. Air
mata pun menetes, khusyu’ sekali. “Rabbna
hablanaa min azwajinaa wazurriyatina qurrota ayun waj’alna lil muttaqina
imamaa.” “Ya Allah Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri kami dan
keturunan kami sebagai penyejuk hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang
orang yang bertaqwa”
Setelah itu, tak tahu mengapa
ingin sekali ia dengarkan nasyid (musik islami) dari laptopnya. Tapi bukan
sembarang nasyid, bagaikan seorang wnita yang hamil dan mengidam, ia pun ingin
mendengarkan nasyid lawas. Teringat dengan senandung Suara Persaudaraan yang 5
tahun lalu pernah ia dengarkan.
Ia buka layar laptopnya, ia buka
folder nasyid lawas, dan Alhamdulullah, nasyid Suara Persaudaraan masih ada….
Ia coba putar satu lagu dengan acak. Sayup-sayup terdengar dengan begitu merdu…
Kulihat bunga di taman
Indah berseri menawan
Cantik anggun dan jelita
Melambai-lambai mempesona
Semerbak bunga setaman
Semerbak warna-warnian
Memancarkan keanggunan sejuk dalam cahaya islam
Ada bertangkai mawar
Kaya akan wewangian
Khasanah yang memerah, kuning ungu dan merah jambu
Ada si lembut melati
Pantulkan putih nan suci
Tebarkan harumnya yang khas tegar derajat di medan ganas
Si kokoh anggrek
Berbaris serumpun menanti siraman kasih sejuk air jernih
Rimbun senyum dahlia
Palingkan gundah hara
Terhenyak aku tersadar
Semua itu bukan tujuan
Tapi bunga islam yang tertaburkan benih iman pilihan
(Suara Persaudaraan, Bimbang)
Sambil tiduran ia dengarkan dengan
khusyu’ ba’it demi ba’it dari lagu ini, berdesir rasa kekaguman di bait-bait
pertama, senyumnya